Kamis, 17 Agustus 2017

Struggle Story 1

MOZAIK CINTA DALAM KELUARGA


By Nofia Ulfa


Pernahkah anda merasa bingung untuk memutuskan sesuatu karena keterbatasan yang anda miliki dalam kehidupan anda? Lebih memilih percaya dengan apa yang dikatakan orang tua atau orang lain di sekitar anda? Atau anda ingin mengetahui seberapa dalam anda mengenal kedua orang tua anda? Maka, catatan hati ini adalah jawabannya. Semua pengalaman yang saya peroleh mengenai betapa luar biasa nya cinta orang tua kepada anaknya akan saya tuangkan dalam catatn hati ini. Berikut catatan hati saya.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Terima kasih kepada pembaca karena telah berkenan membukabeberapa carik catatan hati salah satu putri Hawa ini. Secuil cerita dari keluarga buruh petani yang sungguh lah sederhana. Isinya merupakan mozaik-mozaik kehidupanyang saya jalani sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, ibu dan ayah saya berprofesi sebagai buruh tani. Ya meskipun tergolong tak seberapa tetapi kami bersyukur karena Sang Maha Kaya tak membiarkan kami menyentuh rezeki dari ikhtiar yang haram. Suka dan duka juga kebimbangan yang saya rasakan dalam kisah hidup saya terekam disini.

Sebagai anak sulung dari buruh petani bisa dibilang saya memulai segalanya dengan sangat sederhana. Apa yang dialami kebanyakan anak dari keluarga sederhana yang ada di tanah air, lebih kurang mungkin saya rasakan juga. Setidaknya karena terlahir dari keluarga sederhana, saya bisa benar-benar memulai tujuan melalui perjuangan keras. Satu tahun yang lalu, saya telah lulus dari salah satu Sekolah Menengah Atas yang cukup termasyur di Jepara.

Saya berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur Bidik Misi, sempat beberapa kali mencoba hingga akhirnya saya berpikir mungkin Sang Mha Pemberi Kesuksesan tidak menghendaki saya menempuh jalan ini, kemudian saya ada rencana untuk mendaftar di salah satu Perguruan Tinggi Islam Swasta di Semarang.

Betapa bimbangnya saya, begitu kuat niat saya untuk bisa melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Islam tersebut, sementara biaya yang saya perkirakan ternyata masih jauh dari cukup. Terlebih orang tua saya tak hanya menyekolahkan anak sulungnya ini, namun juga dua adik saya.
Tetapi dalam kebimbangan begitu, saya masih bisa berpikir santai dan berusaha menutupi semuanya dari kedua orang tua saya.
“Bagaimana nak? Pengumumannya?”
“Bu, masih nihil.”
Kalimat yang disambut senyum ibu,
“Ya sudah nduk, belum jalannya. Kamu coba saja daftar di Swasta-swasta sana. Insyaallah ibu sama bapak akan bisa mengusahakan”
Saya tidak melupakan hari-hari itu, tetapi keresahan karena beban ekonomi lenyap karena perkataan ibu yang penuh dengan keteduhan.
Sungguh karunia luar biasa karena saya memiliki keluarga yang begitu cinta pada saya. Bagi saya, tidak ada yang lebih mampu member saya cukup energy dan semangat selain kedua orang tua saya. Dan sejauh ini apa yang saya ikhtiarkan melalui shalat istikharah, akhirnya Allah telah memberikan petunjuk. Sehingga saya merasa mantap dengan pilihan saya.

Semasa kecil dahulu, saya sring menangi bahkan hanya karena hal-hal sepele. Jangankan mainan sekedar ingin meneguk es teh lima ratus rupiah saja ibu tak bisa membelikan, hingga sekarang pun saya baru bisa menyadari bahwa mungkin saya tergolong orang yang dewasa sebelum tiba waktunya. Namun karena ingatan itu, saya di ajarkan oleh orang tua untuk bisa menjadi pribadi yang penuh dengan keprihatinan. Pada saat itu, untuk bisa makan beberapa hari, ibu dan bapak harus rela bergelut dengan lumpur, jerami dan berbagai binatang penghuni sawah. Bahkan semasa itu kami di haruskan tabah dan kebaal terhadap cemoohan orang-orang karena ketidak mampuan kami.

Sepulang nya ayah di sore hari, saya menyaksikan di lantai rumah terdapat bercak darah yang berceceran. Dan betapa sakit hati saya melihat ternyatadarah itu berasal dari kaki ayah yang terluka karena terinjak keong saat bekerja di sawah. Dengan air mata yang terus menetes, saya mengepel lantai dengan pelan. Merasa betapa tak berdaya nya anak ini, tak bisa berbuat apa-apa untuk memperjuangkan hidup keluarganya. Namun kondisi itu memberi semangat bagi saya untuk berusaha menjaga dan melanjutkan cita-cita saya dengan sekuat tenaga. Kadang-kadang merasa agak nekad memang.

Tak menunggu lama-lama, saya bergegas mendaftarkan diri ke salah satu Perguruan Tinggi Islam Swasta yang ada di Kaligawe, Semarang. Denga langkah tegas saya sengaja mengambil Program Studi Sastra Inggris, dengan harapan bisa mencapai mimpi saya untuk dapat ke Luar Negeri secepat mungkin. Karena pada pikiran saya, itu lah langkah pertama yang harus saya lakukan untuk membuat bangga kedua orang tua saya. Ya, karena dari awal pertama ibu pun sudah mengatakan bahwa beliau menginginkan saya bisa menjadi dosen Bahasa Inggris, dan Alhamdulillah saya pun di terima di Prodi tersebut tanpa melalui tes. Sungguh luar biasa obat penenang yang telah di berikan-Nya kepada manusia yang penuh ketidak tahuan ini. Setelah saya berjuang keras, ini lah hasil yang saya peroleh. Walaupun bukan di PTN, namun saya yakin inilah yang terbaik yang telah Allah limpahkan.
Lebih baik menjadi ikan besar dalam kolam yag kecil, daripada menjadi ikan yang amat kecil di dalam kolam yang besar. Itu lah jargon yang terus saya ngiangkan dalam otak saya sebagai semangat yang menggelora di hati saya.

Sungguh tak di sangka-sangka, beberapa waktu saya berjuang dan terus melawan lelah. Akhirnya usaha saya tak sia-sia.  Di awal semester kuliah, saya mencoba bereksperimen dengan membuat paper untuk dikirim ke event Internasional, dan Alhamdulillah paper saya di terima tak lama setelah saya mengirim melalui email. Hemm.. saya pikir untuk dapat mencapai ini, mungkin lelah telah lelah mengejar anak ini.

Dengan semua kebahagiaan itu, rasanya saya sungguh malu dengan Sang Maha Mengetahui Segala yang Baik untuk Ummat-Nya. Tidak pantas rasanya mengeluh karena hal-hal lain di masa lalu. Juga untuk kondisi ekonomi yang bertahun-tahun cukup minim.
Berbagai upaya telah saya lakukan untuk dapat berangkat ke Negeri Jiran Malaysia mengikuti event Internasional yang telah di depan mata. Ya, segeralah saya membuat proposal untuk memperoleh dana agar bisa segera membayar registrasi.

Saya telah menyiarkan kabar bagus ini kepada keluarga, sungguh bahagia rasanya karena saya akan dapat menggenggam impian yang ku piker hanya akan terbengkalai tanpa dapat tercapai. Betapa bahagianya kedua orang tua saya mendengar kabar bahwa anak gadis desa ini telah dapat membuktikan tekadnya. Namun satu kenadala yang tak bisa saya beritahukan kepada orang tua, bahwa saya belum juga memperoleh dana untuk bertolak ke Malaysia. Bahkan tak dapat biaya sepeser pun dari Fakultas maupun Unversitas.  Ada saja alasan yang di lontarkan pada anak desa ini, sehingga sesak terasa dada ini tak memperoleh dukungan dari kandang seendiri. Hampir saja saya benturkan kepala ini pada dinding karena bingung tak tahu harus melakukan apalagi. Hingga saya memeberanikan diri dating secara pribadi kepada salah satu dosen yang saya rasa adalah dosen yang paling ramah di antara dosen lainnya yang ku pikir acuh terhadap anak kemarin sore ini. Alhamdulillah, saya memperoleh pertolongan dari beliau. Pak Chairil. Saya memutuskan untuk tidak mengeluh, karena saya tahu masih banyak masih banyak jalan yang di sediakan lebar-lebar oleh Allah kepada anak ini.

Biarpun hanya makan sederhana, bahkan pernah hanya makan nasi jagung, tetapi alhamdulillah Allah telah memberikan nikmat yang luar biasa kepada saya hingga saya dapat membawa kabar gembira ini dengan bangga ke kampong halaman.
Biarpun melalui masa yang amat sulit, mencari pertolongan kesana kemari di bawah derasnya guyuran hujan dan kencangnya angin Semarang, bahkan saat itu saya melalui semuanya dalam keadaan yang sungguh serba mendesak dan menderita sakit karena pukulan air hujan yang tak henti-hentinya berusaha menguji kekuatan raga ini.

Tetapi Allah berikan saya begitu melimpah energi.
Dua permata hati yang saya miliki terus saja rajin bekerja keras untuk anak-anaknya. Dengan semangat yang tinggi hingga melewati tengah hari. Betapapun pandai nya saya menyembunyikan kesulitan yang saya alami kepada ibu dan bapak, namun mereka tetap berpikir tak ingin putrinya nanti kelaparan dan terlantung di negeri orang, maklum lah orang desa biasa berpikiran kalau ada orang tanah air yang pergi ke negeri seberang dengan tidak membawa uang sepeser pun dan tak menjinjing kemampuan apa pun, pasti lah terlantar di negeri lain bahkan bisa saja mati karena siksaan. Seperti yang mereka saksikan di media televisi.

Dari rekaman ini saya menyadari bahwa saya ingin menyampaikan kepada Allah, saya malu karena semasa dahulu begitu percaya diri dengan rencana yang amat rapi tapi malah tak tercapai, karena sejatinya rencana yang ada dalam angan ini tak lebih layak di banding denga rencana-Mu Ya Allah. Sungguh manusia ini tak pantas mengeluh.
Pun tidak ketika beberapa ujian-Mu menghampiri.
Saya telah mngetahui pula bersama kesulitan ada kemudahan. Sehingga ketika satu ujian terasa memukul dada ini, saya hanya harus bersabar dan berdoa dan terus berikhtiar. Yakin lah kemudahan itu ada dan Allahiringkan ketika memberi kita ujian-Nya, kalau belum terlihat, mungkin mata kita yang masih tertutup. Dan satu hal yang paling tak bisa saya lupakan selain apa yang telah di berikan Allah, bahwa betapa cinta dan sayangnya orang tua kepada anaknya betapapun marah nya mereka kepada kita anaknya, namun sejatinya itu bagian dari kepedulian dan bukti kasih sayang mereka kepada kita anaknya.

Semoga Catatan Hati sederhana ini, bisa menjadi bagian dari penenang hati yang cukup membahagiakan untuk  pembaca. Amin .…
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Nofia Ulfa                                                                            











Tidak ada komentar:

Posting Komentar